Acerca de
Fang Sheng
放生 Fang Sheng
Tradisi ini bermula pada zaman Sang Buddha, tepatnya pada masa kehidupan Pangeran Siddharta. Pada waktu itu, seekor angsa jatuh terkena panah Devadatta. Kemudian, Pangeran Siddharta dan Devadatta bersama-sama mendekati angsa itu. Pangeran Siddharta langsung memeluk angsa itu dan mematahkan anak panahnya serta membaluri luka angsa itu dengan daun obat. Sementara itu, Devadatta ingin mengambil angsa itu karena ialah yang memanahnya. Pangeran Siddharta lantas menolak untuk memberikannya kepada Devadatta sembari berkata "Kehidupan adalah milik orang yang berusaha menyelamatkannya." Pada akhirnya, dewan kerajaan memutuskan bahwa Pangeran Siddharta lah yang berhak memiliki angsa itu.
Kisah ini menjadi dasar dalam tradisi yang sekarang sering dilakukan umat Buddhis di seluruh dunia, yaitu Fang Sheng. Kata "Fang" sendiri berarti melepas dan "Sheng" berarti kehidupan. Fang Sheng merupakan praktik kebajikan yang besar apabila dilakukan dengan baik dan benar. Tetapi, kerap kali umat Buddhis sering salah dalam melakukan praktik ini. Contohnya adalah memesan binatang sehari sebelum Fang Sheng, hal ini akan mengakibatkan binatang yang tadinya bebas malah ditangkap demi keperluan kita. Kedua adalah melepaskan binatang sembarangan tanpa memerhatikan keadaan ekosistem sekitar. Maka, umat Buddhis seharusnya mampu lebih bijaksana dalam melakukan pelepasan makhluk ini, yaitu dengan mempertimbangkan kondisi alam dan tidak memesan makhluk yang akan dilepas.
Vihara Miao Fa Indonesia sendiri sering mengadakan ritual ini dengan cara yang benar, dengan memerhatikan keadaan ekosistem dan tidak memesan makhluk yang akan dilepas. Sebelum dilepas, para makhluk akan terlebih dahulu diberkahi dan dilafalkan gatha, sutra, dan mantra agar para makhluk ini memperoleh kehidupan yang lebih baik dan mampu terbebas dari jerat penderitaan. Vihara Miao Fa biasanya mengadakan Fang Sheng setelah upacara besar seperti namaskara sepuluh ribu Buddha dan perayaan Waisak.